Nama : Rivalno (26212494)
Yodawan Saputra (27212813)
Kelas
: 4EB12
Mata Kuliah : Etika Profesi
Akuntansi
Pengertian Etika
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti
"timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of
Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis
(practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis
dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita
rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan
pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat
dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis
dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai
suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda
dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki
sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk
terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi
konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan
(studi penggunaan nilai-nilai etika).
Etika yang Berlaku di Daerah Jawa
Jawa, merupakan salah satu wilayah di nusantara yang
memiliki sumber-sumber kearifan lokal yang sangat kaya dan beragam. Salah satu
sumber dan wujud kearifan lokal yang berasal dari budaya Jawa adalah etika
Jawa. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam etika Jawa terkandung tata
nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan
simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, misalnya tepa
slira, rukun, andhap asor, unggah-ungguh, mawas diri, dan sebagainya.
Etika Jawa pada intinya didasarkan pada pantas dan tidak
pantas. Ada dua kaidah dasar dalam etika Jawa yaitu prinsip rukun dan prinsip
hormat. Rukun bertujuan untuk mempertahankan keadaan harmonis. Rukun berarti
berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan
pertentangan. Kaidah hormat menyatakan agar manusia dalam berbicara dan membawa
diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan
kedudukannya (Suseno, 2001: 39). Sistem etis yang berprinsip pada rukun dan hormat
akan menghasilkan keselarasan hidup. Sistem etis bertujuan mengarahkan manusia
pada keadaan psikologis berupa rasa ketenangan batin, kebebasan dari ketegangan
emosional. Sistem ini di kenal dengan istilah harmoni maupun selaras.
Etika Jawa secara garis besar disampaikan melalui dua cara.
Pertama, melaluipituduh (wejangan, anjuran) yang isinya memberikan nasihat
berupa anjuran. Kedua, melalui pepali (wewaler) artinya larangan agar orang
Jawa menjauhi perbuatan yang tidak baik. Nasihat dan larangan merupakan inti
budi pekerti atau etika. Tujuan pemberian nasihat dan larangan adalah keadaan
selamat atau slamet. Budi pekerti atau etika bagi masyarakat Jawa merupakan
suatu keharusan. Budi pekerti atau etika Jawa disampaikan dari pihak tertentu
kepada pihak lain yang memiliki posisi tidak sama (bertingkat). Etika Jawa
dijalankan sebagai usaha untuk menjaga keselarasan hidup manusia (Endraswara,
2003: 37).
Etika dalam masyarakat Jawa memiliki dimensi yang sangat
luas, yaitu mencakup etika kepada Sang Maha Pencipta, etika kepada sesama
manusia, dan etika kepada alam semesta. Manusia dikatakan menjadi manusia yang
sebenarnya apabila ia menjadi manusia yang beretika yakni manusia yang secara
utuh mampu memenuhi hajat hidup dalam rangka mengasah keseimbangan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan sosial, antara rohani dan jasmani, antara manusia
sebagai makhluk dengan Penciptanya.
Berikut ini adalah uraian mengenai beberapa etika dan sikap
hidup yang ada dan berkembang dalam masyarakat Jawa :
1. religius, eling sangkan paraning dumadi
Manusia
Jawa berkeyakinan bahwa urip ana sing nguripake (hidup ada yang menghidupkan)
dan suatu saat akan kembali kepada yang menghidupkan, yaitu Tuhan. Oleh karena
manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, maka manusia harus
bersiap untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama hidup. Nasihat
eling sangkan paraning dumadi menjadi pengingat agar manusia selalu menjaga
sikap dan perbuatan di dunia karena kelak akan diminta pertanggungjawabannya di
hadapan Tuhan. Sehingga dalam menjalani hidup manusia Jawa akan senantiasa
golek dalan padhang, berbuat lurus, tidak melakukan hal-hal yang dilarang
Tuhan. Sikap-sikap tersebut menunjukkan religiusitas masyarakat Jawa.
2. urip samadya
Dalam menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip
samadya. Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak
memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Sikap
hidup samadyamenjauhkan seseorang dari perbuatan yang menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan yang diinginkannya. Prinsip hidup ini juga melahirkan sikap
nrima ing pandum, menerima segala yang diberikan Yang Maha Kuasa. Namun
demikian, tidak berarti sikap hidup samadya dan nrima ing pandum ini diisi
dengan bermalas-malasan, tanpa mau berusaha.
3. memiliki watak rereh, ririh, dan ngati-ati.
Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, artinya
tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah
tindakan dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam bertindak
(Herusatoto, 2000:83). Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati, berarti
manusia dapat menguasai dirinya, menguasai nafsunya. Manusia akan sempurna bila
dapat menguasai nafsu. Sementara itu, orang yang dikuasai nafsu akan berbahaya
bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati tentu
akan dapat melahirkan penyelesaian yang baik.
4. menjauhkan
diri dan membenci watak adigang, adigung, adiguna.
Watak adigang adalah watak sombong, karena mengandalkan
kekayaan dan pangkat. Watak adigung adalah watak sombong karena mengandalkan
kepandaian dan kepintaran, lantas meremehkan orang lain. Watak adiguna adalah
watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran berdebat
(Herusatoto, 2000:83). Sikap ini menjadikan seseorang bersikap sapa sira sapa
ingsun, yang merupakan gambaran sikap sombong. Oleh karena itu, sikap-sikap ini
harus dihindari. Seseorang justru harus bersikap ramah dan menghargai sesama
manusia. Jangan berlaku seolah-olah menjadi manusia yang ”paling”.
5. aja dumeh
Kata
yang singkat ini mengandung ajaran yang sangat luas. Kata ini dapat diterapkan
dalam berbagai sikap dan perbuatan, misalnya aja dumeh pinter, aja dumeh kuasa,
aja dumeh kuwat, dan sebagainya. Aja dumeh sangat dekat dengan watak adigang,
adigung, adiguna. Aja dumeh mengandung maksud “jangan mentang-mentang”. Sikap
hidup aja dumeh akan membawa seseorang pada sikap rendah hati, sederhana, tidak
merasa “paling” dibandingkan dengan orang lain di sekitarnya.
6. mawas diri
Mawas diri adalah tindakan untuk melihat ke dalam diri
sendiri, mengukur nilai dan kemampuan diri. Dengan mawas diri seseorang akan
selalu berupaya melihat kekurangan diri sendiri. Sikap ini menjauhkan seseorang
dari sikap merasa paling benar, sehingga tumbuh rasa saling menghargai sesama.
Menyadari bahwa diri tidak sempurna akan
membuat seseorang menjadi tidak mudah mencela orang lain. Mawas diri menjauhkan
seseorang dari sikap sombong.
7. tepa slira
Tepa slira
berarti tenggang rasa, tolerasi, menghargai orang lain, nepakke awake dhewe.
Apabila kita merasa senang dan bahagia jika orang lain berperilaku baik kepada
kita, maka hendaknya kita juga berusaha bersikap baik terhadap orang lain (Heru
Satoto, 2000:94). Tepa slira adalah sikap individu untuk mengontrol pribadinya
berdasarkan kesadaran diri. (Suseno, 2001: 61) Wujud sikap tepa slira adalah
sikap menjaga hubungan baik dengan sesama sebagai anggota masyarakat. Seseorang
yang memiliki sikap tepa slira tidak akan mburu menange dhewe, nggugu karepe
dhewe, dan nuhoni benere dhewe. Bila sikap tepa slira ini bisa dimiliki oleh
setiap orang maka akan tercipta kerukunan dalam masyarakat sehingga kehidupan
akan lebih damai.
8. unggah-ungguh
Unggah-ungguh merupakan salah satu bentuk etika atau sikap manusia Jawa
dalam menempatkan diri ketika bergaul dengan sesamanya. Seseorang yang memiliki
dan memahami sikap unggah-ungguh akan mengetahui bagaimana cara bergaul dan
berperilaku dengan orang yang lebih muda, sederajat, lebih tua, atau yang
memiliki jabatan tertentu, bahkan dalam situasi tertentu. Dengan menerapkan
unggah-ungguhdalam bergaul maka akan tercipta hubungan yang harmonis. Seseorang
yang memilikiunggah-ungguh akan dapat menempatkan diri dalam menjalin pergaulan
dengan orang lain sesuai dengan tempat dan situasinya, empan papan. Istilah
lain unggah-ungguhadalah suba sita.
9. jujur
Jujur
merupakan karakter yang sifatnya universal. Masyarakat Jawa pun menganggap
sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh dan dimiliki oleh setiap
orang Jawa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa seperti, jujur bakal
mujur, artinya orang yang jujur akan mendapatkan keberuntungan. Kebalikannya
adalah goroh growah, yaitu orang yang berbohong akan mendapat kerugian. Akhir-akhir
ini, ungkapanjujur bakal mujur sering diplesetkan menjadi jujur bakal ajur atau
jujur bakal kojur. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini sering terjadi fenomena orang yang berperilaku jujur
malah tidak beruntung, sementara yang tidak jujur malah beruntung. Melihat
kondisi ini maka perlu dipahamkan bahwa keberuntungan yang didapatkan oleh
orang jujur sesungguhnya tidak serta merta dan tidak hanya bersifat fisik.
Artinya keberuntungan itu bisa jadi baru didapatkannya kelak dan hanya bisa
dirasakan oleh batin. Oleh karena itu, sikap jujur jangan sampai ditinggalkan
dan tetap yakin bahwa becik ketitik ala ketara, kebaikan akan terlihat dan
keburukanpun akan tampak nyata.
10. rukun
Hidup
rukun selalu menjadi dambaan manusia yang hidup bermasyarakat. Demikian pula
pada masyarakat Jawa yang juga mendambakan kehidupan yang selalu cinta damai.
Cinta damai dapat terwujud jika antarsesama anggota masyarakat tersebut dapat
hidup rukun. Sehingga dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan rukun agawe
santosa, yaitu bahwa hidup rukun sesama manusia akan membuat kehidupan menjadi
sentosa.
11. kerja keras
Manusia
Jawa tidak boleh lalai untuk selalu berupaya mencukupi kebutuhannya. Oleh
karena itu manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras akan mampu hidup mandiri
dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain. Sikap hidup semacam
ini tercermin dalam ungkapan Jawa sapa ubet, ngliwet yaitu siapa yang kreatif
dalam berusaha mencari rezeki, maka pasti akan mendapatkan hasilnya. Di samping
itu, dalam bekerja manusia Jawa juga berprinsip bahwa bekerja tidak melihat
pada besar kecilnya hasil yang harus diperoleh, tetapi lebih mementingkan apa
yang harus dikerjakan. Hasil menjadi perkara belakangan, sebagaimana ungkapan
sepi ing pamrih, rame ing gawe. Etos kerja ini sangat luar biasa karena
menunjukkan semangat pengabdian yang besar. Orang yang bekerja dengan semangat
pengabdian ini sangat diperlukan dalam membangun bangsa.
13. tanggung jawab
Tanggung jawab
merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh manusia Jawa. Sehingga dalam
masyarakat Jawa ditemukan juga ungkapan tinggal glanggang colong playu yang
arti harfiahnya meninggalkan gelanggang dan secara diam-diam melarikan diri.
Ungkapan ini merupakan sindiran bagi seseorang yang suka lepas tangan, cuci
tangan dari tanggung jawab yang seharusnya diembannya. Oleh karena itu,
perilakutinggal glanggang colong playu harus dihindari karena merupakan
perilaku negatif dan jauh dari sikap ksatria sejati.
14. rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangrungkebi
Merasa ikut
memiliki, merasa wajib membela. Sikap ini wajib dimiliki oleh setiap orang agar
keadaan dan situasi terjaga dengan baik. Dengan merasa memiliki orang akan
punya keinginan untuk menjaga dan melestarikan serta membela sesuatu yang
menjadi miliknya. Sikap ini sangat tepat untuk ditanamkan kembali pada generasi
ditengah-tengah keterpurukan bangsa. Bila generasi muda memiliki sikap ini
mereka akan berupaya untuk turut berperan dalam memperbaiki kondisi bangsa dan
tidak justru merusak citra bangsa.
15. memayu hayuning bawana
Memayu berarti
membuat selamat. Sedangkan bawana berarti bumi. Memayu hayuning bawana
merupakan sikap dan tindakan untuk menjaga keselamatan dan kelestarian bumi.
Sikap ini perlu ditanamkan pada semua orang, termasuk generasi muda agar
kerusakan bumi dapat dicegah sehingga bumi tetap lestari. Bila bumi terjaga
maka manusia juga terhindar dari bencana, seperti banjir, tanah longsor,
kekeringan, dan sebagainya. Memayu hayuning bawana juga bisa diterjemahkan
sebagai sikap dan tindakan menjaga keselamatan bumi dari segi ketenteraman dan
kedamaian. Jika penghuni bumi ini saling bertengkar dan berperang maka bumi pun
akan rusak.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.
Hadiatmaja, H. Sarjana dan Kuswa Endah. 2009. Pranata Sosial
dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: CV Grafika Indah.
Herusatoto, Budiono. 2000. Simbolisme dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Sastroatmodjo, Suryanto. 2006. Citra Diri Orang Jawa.
Yogyakarta: Narasi
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa Sebuah Analisis
Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar